Seperti saat berangkat tadi, Minori mengambil tempat duduk yang tadi didudukinya di dalam kapal Ferry. Begitu pula dengan Aoi dan Yuki yang berada di depan Minori. Tanpa disadarinya, Akira duduk kembali di sampingnya. Minori yang melihatnya tampak sedikit terkejut, tak menyangka akan kehadiran Akira—yah, walaupun dalam hatinya ia merasa senang sekali.
“Aku duduk di sini lagi ya, boleh kan?” ucap Akira yang merasa yakin sudah pasti dibolehkan oleh Minori.
Alih-alih menjawab, sama seperti sebelumnya, Minori hanya mengangguk-angguk kecil.
“Hmm… lagi bete ya?” ucap Akira memulai pembicaraan.
“Hmm… kok tahu?”
“Yaa.. kelihatan. Mukanya sudah kusut begitu.” Tanpa ada tanggapan dari Minori, Akira melanjutkan, “Pasti gara-gara yang tadi kan?”
Saat ini, Minori mencoba untuk jujur padanya. Ia tahu bahwa Akira dapat menjaga rahasia. “Iya. Bete gak sih? Jadi saja, tidak jadi deh naik Balon Udaranya. Padahal kan seru tuh. Lagi pula, aku juga sudah bilang duluan kan ke Kara kalau aku dan Yuki mau ikut.”
“Yaa, Kara memang orangnya begitu. Dia suka pilih-pilih teman. Jangan dimasukkan ke hati, oke? Lagu pula, gak seru-seru amat kok di sana. Malah berisik sama mereka mereka. Hahaha…” ucap Akira berusaha menghibur Minori yang sedang dilanda bete tingkat dewa.
Minori hanya mengangguk. Kini ia sudah tidak bete lagi, dan secercah senyum mulai terulas di bibirnya. “Ah, tapi masa sih gak seru? Tapi kelihatannya mukanya senang semuanya.”
“Beneraan. Aselii! Aku sama Tako malah main game lho di sana,” ucapnya sembari menggerak gerakkan jari telunjuknya di dekat telinganya, pertanda ia berkata yang sesungguhnya.
“Ooh yasudah deh aku percaya sekarang. Tapi ngomong-ngomong, aku bingung deh. Kenapa waktu sebelum naik Balon Udara yang diajak Kara duluan kok kamu ya?”
“Yaa makannya aku juga tidak tahu. Ya memang banyak sih yang mau bareng sama aku. Hehehe,” jawab Akira sambil menambahkan candaan garingnya.
“Idiih kepedean banget sih jadi orang,” tanggap Minori dengan menunjukkan raut wajah bete nya, tetapi yang sebenarnya ia ingin sekali tertawa. Akhirnya, ia pun berusaha untuk menahan tawanya demi terlihat normal seperti yang lain—normal berarti tidak akan tertawa ketika Akira sedang menggaring. Namun pada akhirnya, ia tidak dapat menahan tawanya lagi dan tertawalah ia bersama Akira dengan asyiknya.
“Ooh.. jangan-jangan.. tadi kamu bilang buru-buru mau sama aku juga yaa?”
“Apaan sih? Siapa juga yang mau sama kamu? Geer!” jawab Minori dengan raut wajah cuek, merasa Akira dapat menebak dengan tepat alasan yang sebenarnya. Kali ini ia tidak bisa jujur pada Akira. Padahal, sebenarnya ia ingin mengatakan, ya, aku memang ingin sama kamu Akira. Namun, Kara telah mengacaukan semuanya.
“Gak deh, bercanda.”
Tetapi, Minori ingin menganggap perkataan Akira itu serius.
***
Perjalanan di kapal lagi-lagi terasa begitu singkat bagi Minori. Kalau saja bukan karena Akira yang duduk di sampingnya, mungkin perjalanan di kapal dapat terasa begitu lama. Ia ingin momen-momen ketika ia sedang bersama Akira akan terulang lagi.
Perjalanan pulang kembali lagi menaiki bis. Sama seperti saat berangkat, tempat duduknya tidak berubah. Kara kembali duduk bersama Hyorin di depan Minori dan Yuki, sekarang sudah tertidur lelap karena lelah. Di sebelah mereka, Aoi masih bersama Kyo yang tidak berubah—masih dalam sesi curhat seperti saat berangkat tadi. Kemudian, Akira dan Tako masih setia berada di depan Kara dan Hyorin, tetap bermain game.
Merasa bosan, Minori mencoba melirik ke tempat Hijiri dan Misa—dua orang teman Minori yang tanpa ia sadari, tidak dilihatnya selama berada di Pulau Tidung. Mereka duduk tepat di sebelah Minori, sedang asyik berfoto. Merasa ada yang mengawasi mereka, mereka pun melihat Minori dan mengajaknya untuk ikut berfoto. Akhirnya, Minori pun pindah meninggalkan Yuki yang telah tertidur dengan headset di telinganya, dan ikut berfoto bersama mereka—yah, walaupun tempatnya menjadi sempit.
Walaupun begitu, masih ada teman yang membuat Minori tersenyum saat ini.
***
Matahari sudah mulai menghilang dari langit, digantikan oleh bulan yang mulai muncul perlahan-lahan, menyinari malam dengan sedikit bintang. Langit yang tadi berwarna kelabu, kini tak dapat menahan lagi air yang kini mulai menetes ke tempat yang berada di bawahnya berupa hujan rintik-rintik.
Tanpa terasa, sudah sampai lagi di Bandung. Semua yang dialaminya tadi terasa begitu cepat, bagaikan sebuah film yang sedang diputar di depan matanya. Namun, di balik semua peristiwa tadi, ia menyadari bahwa ia harus mengambil sisi positifnya saja. Seperti menyadari bahwa selain Kara dan teman-temannya, Minori masih mempunyai banyak teman lain yang jauh lebih baik. Selain itu, saat ini ia akan mencoba untuk memaklumi sifat Kara.
Namun, yang terpenting adalah, ia mendapatkan kesempatan bersama dengan Akira. Berbicara dengannya, bercanda dengannya, bahkan tertawa bersamanya. Namun, sempat Minori berpikir, kapan ia akan mengalami momen-momen itu kembali. Mengingat itu semua, membuatnya merasa sedih dan rindu akan momen-momen itu.
Semuanya telah menuruni bis. Teringat semua kejadian itu, Minori segera mencari sosok Akira. Berharap untuk melihat yang terakhir kalinya, sebelum melalui liburan panjang yang membosankan tanpa melihat Akira. Mungkin harapannya untuk melihat Akira yang terkahir kalinya lenyap sudah, karena sampai saat ini ia tidak menemukan sosok Akira.
“Dijemput ri?” Tiba-tiba Akira muncul di sampingnya. Minori sontak terkejut menyadarinya.
“Iyalah, sudah malam begini. Masa pulang sendiri?” jawab Minori sambil mengeluarkan seulas senyum di bibirnya. Kini, ia tak dapat merasakan apa-apa lagi selain senang.
“Ooh dikirain. Kan Cewek setrong. Hehehe,” Minori dan Akira pun tertawa, tak memedulikan keadaan di sekitarnya yang mungkin telah menganggap mereka berdua aneh.
Tak lama kemudian, jemputan Minori tiba, ”Duluan ya, aku sudah dijemput!”
“Ooh oke. Hati-hati ya!”
“Dadah~” seru Minori sembari melambaikan tangannya.
Akira pun balas melambaikan tangannya sembari tersenyum hingga Minori menghilang dari penglihatannya.
Yaa, sampai bertemu di sekolah. Ucap Minori dalam hati, terlalu senang.